Sabtu, 21 November 2009

Anak yang `tak Layak di Jalanan


Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus. Mereka terbiasa hidup di jalanan liar dan biasanya keadaan mereka sangatlah pas-pasan. Setiap anak tidak ingin besar di jalan dan mendapat pendidikan dari jalanan, tempat di mana dia berkembang.
Seringkali saya melintas melewati perempatan lampu merah di jalan Pelajar Pejuang kota Bandung. Di tengah hiruk-pikuknya jalanan kota yang padat di sore hari, banyak orang berlalu lintas dengan berbagai aktivitas yang berlangsung pada setiap harinya. Namun pada saat itu ada yang mengalihkan pandangan dan pikiran ketika saya melihat pemandangan di pinggir jalan sesaat lampu merah sedang menyala.

Saya tertegun ketika melihat beberaa anak kecil yang kurang lebih ada sekitar 7 anak dengan pakaian yang sangat lusuh, tubuhnya kotor, kurus dan tidak berdaya. Dan yang mereka lakukan hanyalah mengamen di perempatan-perempatan lampu merah. Lusa hari pada ketika saya kembali melintasi jalan tersebut ada pemandangan yang lagi-lagi menarik pandangan saya saat itu juga. Pengamen adalah profesi yang mereka jalani dari beberapa anak jalanan di sana. Sesaat setelah mereka mengumpulkan uang recehan yang mereka dapatkan, sayapun menepi untuk mengamati apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh anak-anak tersebut. Mereka lalu membeli jajanan dari salah seorang penjual makanan yang sedang melintas.
Mereka saling menghitung dari hasil mengamen yang mereka dapatkan lalu membeli sebungkus makan itu. Dengan ceriannyapun lalu mereka duduk berkerumun di bawah lampu merah dan asik melahap makanan yang baru saja mereka beli. Meski dengan tangan kotor dan melahap bersama-sama mereka tetap gembira seolah beban hidupun tidak ada dalam pikirannya. Dengan cepatnya makanan itupun di habiskan bersama dan dengan riang gembira mereka saling mencolek dengan tangan kotornya itu.
Mereka adalah anak-anak yang terpinggirkan secara ekonomi, tetapi justru dari merekalah saya mendapatkan sesuatu yang bermakna untuk saya bawa pulang. Di dalam hati saya merintih pilu melihat kejadian seperti itu yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Mungkin meski beban kehidupan liar di jalanan mereka alami tetapi mereka tetap tidak menyerah dan tetap kuat untuk bertahan hidup dengan cara hidup yang mereka jalani.
Meski beberapa di antaranya menjadi pengamen, pembersih kaca mobil, pengemis dan lain sebagainyapun tidak ada hal yang membatasi atas status mereka di jalanan. Dan sayangnya lagi mereka haruslah mnyetorkan hasil uang receh yang telah mereka kumpulkan dari jerih payah mereka kepada joki yang memboykot mereka. Namun anak-anak tersebut hanya mendapatkan bagian yang tidak merata dan tidak sesuai dari apa yang telah mereka lakukan.
Kisah di atas merupakan realitas sosial yang kerap kita dapati di berbagai jalanan di kota-kota besar di Indonesia. Kenyataan yang membuat saya sering bertanya-tanya: Kenapa semua hal itu terjadi? Kenapa anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar tetapi malah turun di jalan untuk mencari makan? Apakah tidak ada lagi yang peduli? Hal ini memang sangat memprihatinkan.

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah dari Allah SWT yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu :
a) Hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms),
b) Lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care),
c) Kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare),
d) Pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan
e) Perlindungan khusus (special protection).
Salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak.
Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Peta permasalahan anak jalanan di kota-kota besar seperti Bandung dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu :
1) Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga,
2) Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan,
3) Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak,
4) Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik,
5) Peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah, dan
6) Lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.

Akan tetapi ada juga pemikiran yang terlintas bagaimana dan apa yang akan terjadi apabila masalah anak jalanan ini telah di atasi dan bagaimana bila “Kota Bandung Bebas dari Anak Jalanan” ?
Setiap anak tidak ingin besar di jalan dan mendapat pendidikan dari jalanan, tempat di mana dia berkembang. Tak dapat dipungkiri, keberadan anak jalanan terutama setelah adanya “revolusi” besar-besaran dengan banyaknya orang tua yang menjadi korban PHK (pemutusan hubungan kerja) dan krisis ekonomi yang melilit perut rakyat miskin, sehingga kehidupan jalanan berubah menjadi ladang mata pencarian anak-anak dan remaja putus sekolah. “Adakah mata kita terbuka atau hanya menutup mata untuk nasib yang dijalani anak-anak jalanan?”

Anak adalah amanah dan karunia Ilahi. Seorang anak adalah sosok manusia yang masih perlu mendapat perlindungan dan bimbingan dari orang tua mereka. Maka setiap anak juga harus mendapatkan haknya, baik pendidikan, bermain, kesehatan, jauh dari kekerasan, dan lain-lain. Sayangnya, tidak setiap anak mendapatkan hak-haknya, bahkan anak-anak yang notabene berasal dari keluarga yang cukup mapan.
Keadaan lebih parah terjadi pada anak-anak jalanan. Anak-anak yang kebanyakan sudah putus sekolah itu mencari nafkah karena dieksploitasi, baik oleh orang tua maupun pihak lainnya. Setiap waktu mereka rentan terhadap kekerasan, dunia narkotika, bahkan berhadapan dengan maut.
Mereka mengharakan belas kasihan dari setiap orang yang melihat dan melintas. Recehan cepe`an, gope`an ataupun lebih bahkan tidak sama sekali mereka dapatkanpun sudah biasa dan selalu mereka terima meski kekecewaan terasa di dalam hati. Apa lagi yang herus di perbuat? Hanya ketidak berdayaan yang ada. Tidak jarang pula penipuan terjadi pada mereka yang beranjak remaja untuk di jadikan budak.
Selain mengamen di dalam bus, anak jalanan biasa menadahkan tangan ke pengendara atau penumpang mobil yang berhenti di lampu merah. "Om... Tante..., kasih dong...," atupun lantunan lagu dan kicrikan alat musik yang terbuat seadannya dari tutup botol bekas mereka gunakan sebagai pengiring lantunan lagunya demikian imbauan anak jalanan tersebut. Ada pula yang hanya meminta-minta saja, membersihkan mobil sambil menunggu lampu hijau, mejadi doger monyet di jalanan dan lain-lain. Tidak jarang itu dilakukan mereka-terutama bocah-bocah-sambil melekatkan wajah ke kaca samping mobil dengan harapan di beri ke ikhlasan untuk memberikan sedikit uang untuk menyambung hidupnya.
Banyak yang tersentuh dengan pemandangan itu sehingga tidak ragu mengeluarkan lembaran uang ribuan untuk mereka. Namun, setelah anak-anak seperti itu pergi, biasanya ibunya atau joki-joki yang datang mendekat dan meminta jatah. Pekerjaan mengamen itu dilakukan hingga larut malam, bahkan dini hari. Jika lelah, mereka bisa tertidur dengan lelapnya di trotoar atau median jalan.
Pemandangan seperti itu belakangan ini makin marak terlihat di setiap lampu merah di kota Bandung, seperti di perempatan lampu merah Pelajar Pejuang, pinggiran Gasibu, di bawah Fly Over, Dago, sekitar Pasar Baru, stasiun kereta api, terminal bus, dan di sekitar tempat-tempat ramai lainnya. Anak-anak mencari makan di jalan. Mereka menjadi penopang hidup keluarga. Bahkan, setelah mereka ditampung di panti sosial, justru keluarganya yang meminta kembali anaknya untuk "dipekerjakan" di jalan.
Di Bandung, permasalahan anak jalanan pun mendapat perhatian cukup serius. Sehingga, Dinas Sosial pun membuat program "Bandung Bebas Anak Jalanan". Untuk mewujudkan program tersebut, Depsos menggandeng PW Muhammadiyah Jawa Barat. Tujuan utamanya, agar anak-anak jangan diekslpoitasi untuk mencari uang, juga demi mengembalikan hak anak yaitu memperoleh perlindungan, baik dari orang tua atau lembaga yang mewakili orang tua, serta mengupayakan mereka memperoleh pendidikan. Namun, kendati semua harus direncanakan dengan baik, keberhasilan program tampaknya tidak bisa terealisasi dengan baik jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu untuk keberhasilan ini, semua perlu adanya kerja sama dari seluruh pihak yang ada antara pemerintah, masyarakat, LSM, ormas, dan unsur lainnya. Sekali lagi, kepada masyarakat yang ada di harapkan untuk “jangan menghentikan infak, namun jangan memberikan infak di jalan”. Dan bila program ini ada lagi untuk tahap selanjutnya diharapkan jangan terburu-buru seperti tahap sekarang ini, agar programnya bisa berjalan dengan baik seperti pada Program Bandung Bebas Anak Jalanan.

Dalam hal ini pemerintahpun seharusnya sadar bahwa anak-anak tersebut adalah cikal bakal sebagai generasi penerus bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin baik itu keluarganya maupun negara ini. Kini sudah saatnya penguasa dan seluruh masyarakat untuk menengok ke bawah dan melepaskan kesibukannya untuk mengejar dunia fana dengan keserakahan yang tiada habisnya. Karena jika tidak, indonesia akan kehilangan jati diri dan para penerus bangsa hanya akan tergerus oleh roda keserakahan. Reformasi yang selama ini didengung-dengungkan hanya kamuflase serta pembodohan terhadap rakyat di Indonesia. Sudah saatnya kita bangkit untuk memperbaiki tatanan pemerintahan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menegakkan hukum yang didasarkan pada keadilan masyarakat yang sejahtera.